Guru besar filsafat STF Driyarkara Romo Franz Magnis Suseno menegaskan bahwa perilaku intoleransi yang terjadi di Indonesia saat ini dapat dihadapi dan diselesaikan dengan jalan komunikasi diantara masyarakat beragama, terutama para pemimpin agama.
“Intoleransi dapat dihadapi dengan komunikasi-komunikasi diantara masyarakat. Seperti di sebuah paroki kecil di Depok, ada seminar dan saya diundang disitu, ada ketua FPI setempat, saya berbicara dengannya dan juga seorang pastor muda, saya tanya mereka mengenai hubungan beragama disitu, mereka menjawab tidak masalah. Jadi saya bilang saja, tenang saja, tidak akan FPI bakar gereja di Depok,” katanya dalam diskusi publik di Maarif Institute, Selasa (4/3).
Agamawan berusia 77 tahun ini menilai bahwa terdapat kekhawatiran diantara umat Muslim dan Kristen yang menjadikan komunikasi-komunikasi itu kerap terjadi. “Masih saling curiga, Kristen takut jika Islam beneran berkuasa, kemajemukan akan menguap. Islam juga takut (dengan berpikir) sebenarnya Kristen akan menunggu saat yang tepat untuk mengkristenan kami. Kita harus relaks dan tidak perlu takut.”
Terakhir, Magnis menegaskan bahwa perilaku intoleransi hanya terjadi dalam skup kecil seperti di daerah-daerah, namun memiliki potensi yang berbahaya. “Saya tidak melihat intoleransi secara luas. Ini adalah wacana situasi di basis. Konflik-konflik etnis dan terutama diluar Jawa yang bisa berwajah agamis, contoh Lampung, yaitu masyarakat yang Muslim dan Hindu, dan itu potensinya cukup berbahaya.”
Komunikasi akan menjadi solusi yang efektif dalam meredam bertumbuhnya sikap intoleransi di Indonesia. Masyarakat hanya perlu kembali ke nafas Pancasila yaitu bergotong royong bersama dengan menghilangkan segala bentuk kecurigaan terhadap keyakinan sesamanya.